PAULUS MENGHADAPI KEMATIAN

(PAUL FACES THE WESTERING SUN)

 

Dr. W. A. Criswell

 

2 Timotius 4:6-8

11-16-58

 

 

Saudara-saudara sekalian sedang mengikuti kebaktian dari gereja First Baptist Church di kota Dallas. Ini adalah Pendeta yang menyampaikan warta pukul sebelas pagi yang diberi judul dengan: PAULUS MENGHADAP KE MATAHARI BARAT. Ini merupakan sebuah khotbah dari pena rasul itu ketika dia menuliskan ucapannya yang terakhir dan penghabisan kepada putranya dalam tugas pelayanan, yang masih berusia muda itu:

 

“Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi pernyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya.

Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran

Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya.

Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.

Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal, sabarlah menderita, lakukanlah pekerjaan pemberita Injil dan tunaikanlah tugas pelayananmu! 

Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat.

Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.

Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.

Berusahalah supaya segera datang kepadaku,

Karena Demas telah mencintai dunia ini dan meninggalkan aku. Ia telah berangkat ke Tesalonika. Kreskes telah pergi ke Galatia dan Titus ke Dalmatia.

Hanya Lukas yang tinggal dengan aku. Jemputlah Markus dan bawalah ia ke mari, karena pelayanannya penting bagiku,

Tikhikus telah kukirim ke Efesus.

Jika engkau ke mari bawa juga jubah yang kutinggalkan di Troas di rumah Karpus dan juga kitab-kitabku, terutama perkamen itu.”  [2 Timotius 4:1-13].

 

Hari sudah bertambah dingin. Dia berada di dalam penjara bawah tanah yang dilubangi dari sebuah batu karang yang gelap dan dalam. Dia sudah terlebih dahulu mendengar hukuman mati yang telah dijatuhkan kepadanya, dan dia sedang menghadapi saat-saat terakhir dan pasti serta tidak dapat ditawa-tawar lagi. Saudara-saudara sekalian tidak bisa tidak kecuali merasakan sesuatu yang gaib ketika saudara-saudara masuk ke dalam penjara bawah tanah tersebut dan melihat melalui bahu Paulus ketika dia menuliskan perkataan-perkataan terakhirnya ini: “Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat.” Sungguh sebuah hal yang luar biasa. Kematian telah menjadi rekan tetap kita sejak dunia ini diciptakan. Ketika setiap generasi telah datang di atas permukaan bumi ini, penuai yang teguh telah meletakkan aritnya untuk menuai. Dan meskipun maut merupakan hal yang aneh dan tidak dikenal bagi kita di zaman ini seperti pada permulaannya. Kita belum pernah sampai ke tempay di mana kita tinggal di dalam pengertian yang akrab dan mendalam dengannya. Kematian adalah musuh. Kematian merupakan penyelundup. Kematian tidak memiliki tempat di dalam penciptaan asli dari Tuhan Allah Yang Mahakuasa. Dan meskipun demikian, hal itu terus menerus berada di dalam penglihatan kita, di samping kita, di setiap jalanan, di dalam setiap rumah, di dalam setiap lingkaran keluarga – monster yang seram, tidak diinginkan dan tidak diundang, musuh yang terakhir itu, yaitu kematian. Paulus sangat menyadari saat penarikan yang fatal dan penghabisan itu. Dan menyadari akan hal tersebut, dia terduduk dengan ketenangan yang sempurna dan menuliskan momen-momen serta hari-hari yang terbentang di depan ketika dia menghadapi musuh kelam dan tak terelakkan itu. Dia melihat kebelakang dengan jaminan yang tenang akan hidupnya. Dia melihat ke depan dengan kepuasan yang menyenangkan di dalam janji yang telah diperbuat. Dia melihat di sekitar dia dengan perhatian yang mendalam terhadap pekerjaan yang menjadi beban jiwa di hatinya, dan dia menulis dengan ketenangan yang sempurna.

 

Kebanyakan ungkapan yang terakhir dan penghabisan dari seseorang, saudara-saudara akan menemukan suatu penyempurnaan, suatu ringkasan dari perhatian besar yang membentuk seluruh hidup orang tersebut; seorang ibu yang telah dibawa pergi, dan beban akan anak-anaknya di hatinya akan hampir pasti berbicara tentang anak-anak tersebut; seorang pria yang telah menyerahkan dirinya sendiri terhadap pembangunan sebuah lembaga yang besar, ketika dia di bawa pergi, akan hampir pasti berbicara tentang hidupnya; seorang jenderal, seorang prajurit karir, di tengah-tengah pertempuran, mempertaruhkan nyawanya untuk negaranya, akan hampir dapat dipastikan berbicara tentang kemenangan akan hadiah yang ada di dalam genggaman tangan rekan sesama prajuritnya. Demikian juga dengan Paulus ketika dia duduk untuk menulis. Dia berbicara tentang beban jiwanya, beban dari hatinya akan seluruh hidupnya, penyebaran Injil dari Anak Allah; kemajuan dari kerajaan serta kesabaran Yesus Tuhan kita. Dan beralih kepada anaknya yang masih muda Timotius, dia memiliki pengharapan bahwa di dalam dia, Paulus boleh menemukan seseorang kepada siapa dia akan menjatuhkan mantel kerasulannya; seorang pemuda untuk mengambil obor dari tangannya, untuk menangkap pedang yang terjatuh, dan untuk melanjutkan penyebaran Injil Kristus: 

 

“Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi pernyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya.

Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran

Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya.

Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.

Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal, sabarlah menderita, lakukanlah pekerjaan pemberita Injil dan tunaikanlah tugas pelayananmu!” [Kitab 2 Timotius 4:1-5]. 

 

Kemudian, setelah mengatakan pesan tersebut kepada Timotius, untuk tetapi setia, untuk memberitakan – kemudian dia beralih untuk berbicara tentang kematiannya sendiri:

 

“Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat” [2 Timotius 4:6]. 

 

Bagaimanakah Paulus menghadapi saat-saat yang tidak terelakkan itu? Kematian telah terlihat di depan mata, telah juga dituliskan mengenainya, oleh begitu banyak tulisan. Di dalam puisi, di dalam nyanyian, di dalam Kitab Suci, di dalam kesusasteraan, di dalam tulisan-tulisan kuno dengan memakai huruf-huruf hiroglif, dari sejak awal adanya kemanusiaan, bagaimana manusia melihat pada hal tersebut? “Oh, Tuhan,” demikian dikatakan oleh sebuah sajak,

 

“Betapa menakutkan melihat jiwa manusia mendapatkan sayap
dalam bentuk apapun, dalam cara apapun.
T’lah kulihat mengalir deras di dalam darah. 
T’lah kulihat ketika laut itu dibelah.” 

 

Yang lain menuliskan:

 

“Tuk merasakan tangan-tangan kematian

menahan langkah seseorang.
melontarkan kutuk yang menggetarkan

seluruh pengharapan seseorang yang sedang menanjak
dan terlalu cepat melemparkan jiwa seseorang

ke sua tempat untuk berteduh. 
Monster kematian yang sangat menakutkan itu.” 

 

Salah satu sajak yang paling indah yang pernah dituliskan adalah sajak yang dituliskan oleh Robert Browning setelah kematian dari Elizabeth Barrett Browning. Dia memberi judul “Prospice” untuk sajaknya itu. Apakah saudara-saudara mengingatnya?

 

           

Takut akan kematian? 
merasakan kabut itu dalam kerongkonganku, 

halimun di wajahku, 

Ketika salju mulai turun, dan hembusannya memberikan tanda 

Aku mendekati tempat itu, 

Kekuatan malam, tekanan dari badai 

Tonggak dari musuh; 

Di mana dia berdiri, Malaikat Rasa Takut 
dalam bentuk yang terlihat, 

Walaupun demikian pria tegar haruslah pergi: 

Supaya perjalanan diselesaikan dan puncaknya dapat dicapai, 

Dan rintangan-rintangan berguguran, 

Walaupun sebuah perang harus diperjuangkan 
segera hasilnya akan didapatkan, 

Ganjaran dari semuanya.
 
[Robert Browning, “Prospice”].  
 

Dibawa, menjauh, di bawa pergi. “Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat” [2 Timotius 4:6]. 

 

Bagaimana Paulus menghadapinya? Di dalam cara yang paling luar biasa, dan di dalam kalimat yang paling penuh pengertian dia menggambarkannya: “Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan.”

 

Di dalam Versi Resmi yang telah direvisi, King James Version, dari mana selalu saya berkhotbah, telah ditafsirkan, di terjemahkan “sebuah persembahan.” Para penterjemah berfikir bahwa Paulus bermaksud bahwa dia telah siap untuk dikorbankan. Bagi setiap orang yang mengenal kuil-kuil Yahudi dan peribadatannya beserta dengan altar yang besar dan kurban-kurban di bawa serta diletakkan di samping altar tersebut, dan kemudian di sana mereka dopersembahkan, nyawa mereka dokorbankan, darah mereka dicurahkan. Seekor sapi jantan, seekor kambing jantan, seekor anak domba, dan di dalam halaman 1611 para penterjemah itu berfikir bahwa Paulus mengacu akan hal tersebut: “Sekarang aku siap untuk dipersembahkan” nyawanya sebagai sebuah kurban. Kata sebenarnya yang digunakannya dengan menggunakan bahasa Yunani adalah spendo, dan spendo adalah kata untuk “dicurahkan sebagai persembahan”; “suatu minuman persembahan.” Di dalam pasal yang kelima belas dari Kitab Bilangan, sebagai contoh, saudara-saudara akan melihat korban bakaran yang disertai dengan persembahan, suatu korban yang dicurahkan, sebuah korban curahan. Korban itu di bawa dan kemudian, ketika korban itu telah dibakar di hadapan Tuhan, Imam Besar akan menuangkan anggur atau minyak di atas korban bakaran tersebut – sebuah persembahan tambahan. Dan kata untuk itu ialah spendo, mencurahkan suatu persembahan, darah persembahan. Dan demikianlah Paulus memberikan gambaran akan kehidupannya sendiri. Kurban agung itu adalah Kristus, tetapi dia hanya menambahkan sedikit dari penderitaan Tuhan kita – sebuah tambahan, suatu persembahan minuman, sedikit anggur, sedikit minyak yang dicurahkan di atas kurban besar atas nama penyebaran injil di muka bumi ini: “Karena aku sudah siap untuk dipersembahkan, dan waktu kepergianku sudah dekat.”

 

Lalu kemudian dia mengarahkan kematiannya yang sedang mendekati sebagai “departure - kepergian,” analusis; analusis sebenarnya merupakan sebuah kata yang begitu indah yang secara harfiah bermakna, “dilepaskannya tambatan sebuah kapal dan kaal itu meluncur dari pelabuhan menuju lautan.” Waktu “kematian”-ku, analusis – ku, perpisahanku dari pantai, peluncuranku masuk ke lautan. Dia tidak menyebutkan kepda kemartirannya sebagai suatu keterputusan. Hanya sebagai suatu peleburan tubuh. Dia tidak menyebutkan hal itu sebagai kematian. Hanya sebagai pemisahan antara tubuh dan jiwa. Tetapi dia menyebutkannya sebagai suatu analusis, suatu peluncuran, pemutusan tali, mengangkat jangkar serta meluncur menuju pelabuhan lain dan daratan yang lain dan negeri yang lain. “Karena aku sudah siap untuk dipersembahkan, dan waktu kepergianku – waktu untuk mengangkat jangkarku, berangkat untuk berlayar - sudah dekat.” Kita semua memiliki waktu keberangkatan:

 

Ketika aku berdiri di samping kayu salib

di puncak gunung yang sendirian itu,
Memandang kepada lautan yang penghabisan,
Dalam kegelapan gunung sebuah kapal berdiam,
Dan yang satu berlayar menjauhi padang rumput:
Yang satu mengembangkan sayapnya yang berwarna putih

pada alur yang jangkauannya jauh,
Dengan panji dan kain yang berkibar bebas;
Yang satu bersembunyi di dalam bayangan

dengan layar-layar terletak di belakang
Kapal yang sedang menunggu aku itu! 

Tetapi lihatlah! Nun jau di sana awan-awan terpecah,
Semangat pintu gerbang yang kulihat;
Dan aku mendengar dari kapal yang berlayar di teluk
Nyanyian dari para pelaut di dalam kegembiraan.
Jadi aku berfikir tentang jejak kaki yang bercahaya yang menjemukan
Kenyamanan di atas danau Galilea yang kelam,
Dan menunggu isyarat untuk menuju pantai,
Menuju kapal yang sedang menantikan diriku.

 

[Bret Harte, “The Two Ships – Kedua Kapal Itu”]. 

 

Kita semua memiliki sebuah waktu keberangkatan. Di dalam pemeliharaan Tuhan Allah yang baik, adalah suatu kemurahan sehingga kita tidak senantiasa berada di sini. Hal itu merupakan kebaikan dari Tuhan Allah. 

 

Di dalam satu bagian ayat yang paling kelam dari Kitab Wahyu, di dalam pasal yang ke sembilan, merupakan gambaran dari hari-hari kesesakan yang mengerikan ketika orang-orang akan mencari maut, tetapi mereka tidak akan menemukannya; dan mereka akan ingin mati, tetapi maut lari dari mereka” [Wahyu 9:6]. Di taman Eden, “Tuhan mengusir manusia itu” [kejadian 3:24] – dan istri itu - “kalau tidak mereka mengambil buah dari pohon kehidupan itu dan memakannya dan akan hidup untuk selamanya” [Kejadian 3:22]; untuk selamanya ditahan di dalam tubuh yang berpenyakitan ini dan kelemahan ini, lemah karena usia, umur dan kematian ini. Kematian adalah suatu kemurahan. Kematian adalah sebuah berkat dari pada Tuhan. Tidak ada di dalam pemeliharaan Tuhan Allah yang baik bagi kita untuk hidup terlalu lama. Di hari-hari dahulu kala, di zaman dari para kepala keluarga, orang-orang hidup jauh melebihi usia sembilan ratus tahun; akan tetapi panjang dari hidup fisik mengandung dosa yang besar serta kejahatan yang dahsyat. Kemurahan Tuhan Allah yang mendatangkan kematian kepada keluarga manusia menyebarkan kemana-mana harta orang-orang kaya. Meninggalkan kegusaran dari para penyerbu. Mengambil mangsa mereka serta barang-barang rampasan dari raja-raja lalim. Itu merupakan kebaikan serta kemurahan dari Tuhan Allah sehingga manusia tidak hidup terlalu lama. Kelanjutan dari ketamakan, kelaliman, tirani, sifat buruk yang jahat sekali yang memberi kutuk kepada bumi ini, akan tidak terpikul kalau bukan karena kebaikan Tuhan Allah yang menjauhkan yang jahat itu.

 

Dan bagi orang-orang Kristen, suatu waktu keberangkatan merupakan saat-saat kejayaan. Itu merupakan saat-saat kemenangan. Itu merupakan tiupan sangkakala di seberang sungai di sana. Itu merupakan sebuah hari untuk memasuki warisan serta kemuliaan Tuhan. Seperti sebuah percikan api yang terbang ke atas menuju pusat matahari, sumber dari nyala api mereka, demikian juga dengan roh yang lahir kembali naik menuju kepada Tuhan Allah dan kepada Kristus dan kepada sorga bagi dia yang mengobarkannya. Di sisi lain adalah Juru Selamat kita yang berdoa sehingga suatu hari nanti kita boleh bersama-sama dengan Dia. Di sisi yang lain, ada berkumpul orang-orang yang beriman dari segala zaman, tentang siapa telah dituliskan, “bahwa tanpa kita mereka tidak sampai kepada kesempurnaan” [Ibrani 11:40]. Lingkaran langit tidak akan sempurna sampai orang-orang yang telah ditebus sudah berkumpul di rumah. Ada suatu keberangkatan bagi kita. Tidak juga kita melihat padanya dengan ketakutan serta kegentaran, penyesalan serta kengerian yang hebat. Juru Selamat kita pergi ke arah itu. Kita akan berlayar menuju laut yang tidak bertepi. Hal itu telah direncanakan oleh ribuan orang yang telah mengikut Tuhan kita masuk ke dalam pintu gerbang kemuliaan. Yesus terbaring di dalam sebuah kubur. Yesus telah wafat. Yesus mengetahui rasanya dibungkus di dalam kain kafan dan diletakkan di dalam sebuah makam. Yesus telah pergi dari hadapan kita, kalau tidak kita mendapatkan kegagalan di perjalanan itu. Setiap langkah terdapat jejak kaki dari Raja Immanuel, dan kita hanya mengikuti Tuhan kita untuk masuk ke dalam kejayaan yang gemerlapan dari sebuah hari yang kelak akan datang. Segala hal yang telah dijanjikan oleh Tuhan Allah adalah kekal dan amin. Pandangan mata secara fisik tidak dapat melihatnya:

 

Tetapi seperti ada tertulis; “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan yang tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia” [1 Korintus 2:9]. 

 

Akan tetapi semuanya tidak dikenal. Semuanya disingkapkan bagi kita oleh Roh-Nya. Dan pada saat kita sampai di sana, kita akan melihat di sekitar kita di dalam pemandangan yang gemerlap dan kita akan berkata, “Saya tidak mengira bahwa sorga akan menjadi sesuatu yang seperti ini.” Kita semua mendapatkan keberangkatan. Dan kita memiliki suatu waktu. Sekarang saya siap untuk dipersembahkan, dan waktu keberangkatan saya sudah dekat.”

 

Kita, juga memiliki waktu. Ada suatu waktu ketika, di dalam pengetahuan masa lalu tentang Tuhan Allah, kita dilahirkan. Dia mengetahuinya, melihat kepadanya. Dan ada suatu waktu di dalam pengetahuan masa lalu Tuhan Allah ketika kita akan mati jika Dia berdiam, dan di dalam pengetahuan masa lalu Tuhan Allah Dia melihatnya. Seluruh keabadian dihadirkan di hadirat Tuhan Allah, hari-hari yang telah berlalu dan hari ini dan hari esok. Dan Tuhan Allah melihat kepadanya dan Tuhan Allah mengetahuinya. Dan ketika saya menghadapi saat-saat terakhir yang tidak terelakkan itu, saya tidak meminta pendapat dari daging saya atau dengan rasa takut saya, bahkan tidak dengan monster yang seram itu ketika dia datang. Akan tetapi kita meminta nasehat dengan Tuhan Allah. Semuanya berada di dalam tangan-Nya. Dan Dia senantiasa melakukan apa yang benar untuk di lakukan serta apa yang terbaik untuk dilakukan. Dan saya tidak usah khawatir atau gelisah atau dipenuhi rasa takut. Saya memiliki sebuah waktu dan waktu itu berada di dalam tangan-Nya. Apakah menjadi masalah bagaimana hal itu akan datang? Apakah menjadi masalah kapan hal itu akan datang? Apakah menjadi masalah apa yang akan dibawanya atau bagaimana hal itu akan disampaikan kepada saya? Ketika malapetaka yang mengerikan itu menimpa Ayub, diambil darinya, dihilangkan darinya akan anak-anaknya, rumahnya, hamba-hamba pelayannya, kawanan gembalanya, ternak-ternaknya. Seorang pembawa pesan melangkah di atas perbukitan itu untuk menyampaikan kabar bencana yang mengerikan itu. Apakah itu menjadi masalah? Apa menjadi masalah apakah hal itu datang dari serangan gencar kaum Sabean atau penyerbuan dari kaum Kasdim? Apa menjadi masalah apakah api yang datang dari langit atau angin yang berhembus atau menderu-deru dari padang gurun? Apakah hal itu menjadi masalah? Hanya ada satu beban di dalam hati kepala keluarga yang beriman, dan hanya ada satu ungkapan yang keluar dari mulutnya: “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan” [Ayub 1:21]. Saya tidak menciptakan nyawa saya. Dia yang menempanya. Nyawa itu adalah milik-Nya. Tidak juga saya yang menambahkan lama dari hari-hari tersebut. Semua berada di dalam tangan-Nya. Dia yang memberikan, dan pada suatu ketika, Dia akan mengambilnya; terpujilah nama Tuhan. Ada waktu untuk pergi. Dan ketika dia memilih, maka itulah waktu bagi saya juga: “Karena sekarang saya siap untuk dipersembahkan, dan waktu keberangkatan saya sudah dekat” [2 Timotius 4:6]. Keberangkatan itu senantiasa sudah dekat. Mungkin di sana terdapat suatu waktu kecil yang singkat untuk beristirahat antara sekarang dengan waktu yang telah ditetapkan itu, waktu terpilih yang sudah diketahui terlebih dahulu oleh Tuhan Allah, akan tetapi saat itu begitu singkatnya dan segera akan berlalu. Seperti apa yang dikatakan Daud kepada Jonathan di dalam pasal yang ke dua puluh dari Kitab Satu Samuel, “demi hidupmu — Jonathan — hanya ada satu langkah jaraknya antara aku dan maut” [1 Samuel 20:3]. Kita semua tinggal di bawah perlindungan dari kemurahan Tuhan Allah. Akan tetapi hanya ada suatu langkah jaraknya antara kita dengan maut: “dan waktu kematianku sudah dekat.”

 

Kemudian bagaimana sebaiknya kita dan apa yang harus kita lakukan? Bolehkah saya menyinggung, dalam waktu yang sedikit tersisa, beberapa dari selurh hal yang penting ini? Yang pertama, di atas segalanya, apakah itu baik kepadamu; kata nabi itu?  Apakah itu baik kepadamu? Saya tidak memiliki hipotik apapun untuk hari esok. Saya memiliki sebuah khotbah yang telah saya persiapkan untuk saya sampaikan malam hari ini tentang Paulus dan Nero, orang fasik dan pengikut Kristus itu, ketika kedua orang ini akan saling berhadapan di dalam pengadilan terhadap Paulus, yang telah digambarkan di dalam pasal ini. Saya telah memersiapkannya untuk malam hari ini. Saya tidak tahu apakah saya akan menyampaikannya atau tidak. Kita memiliki rencana-rencana besar di hari mendatang di dalam pembangunan gereja yang berharga dan tida bandingnya ini. Apakah aku akan hidup untuk melihatnya? Saya tidak tahu. Tak seorangpun dari kita memiliki janji akan masa depan atau saat apapun juga. Maka saya harus bersiap. Sudahkah saya menyerahkan hatiku? Sudahkah saya percaya akan Yesus? Sudahkah saya menerima Dia sebagai Juru Selamatku? Seandainya Tuhan akan datang untukku sekarang, jika Dia berkata, “pada hari ini tugas yang telah diberikan kepadamu telah selesai, pada saat matahari senja terbenam,  ini adalah akhir dari tugas pelayananmu.” Apakah ini benar? Apakah saya sudah siap? Sudahkah saya bersiap? Apakah saya sudah percaya dalam Yesus? Sudahkah saya meminta pengampunan dari-Nya? Dapatkah saya mempercayakan jiwa saya kepada-Nya dan Dia mengenal saya? Saya seperti seseorang yang sudah tua, dan salah satu dari anak-anak kecil yang datang dari sekolah ini duduk di sampingnya dan mulai berbicara dengannya tentang Yesus. Dan orang tua itu berkata, “Dengarkanlah anakku, dengarkanlah, Saya telah menetapkannya di antara jiwaku dengan Juru Selamatku bertahun-tahun yang lalu.” Saya memikirkan kita semua – kita semuanya; bagaimanapun dia berpaling dengan seluruh harta kehidupan itu, seharusnya kita semua mampu berkata, “Pendeta, atau dokter, atau, teman, saya telah menetapkannya di antara jiwa saya dengan Juru Selamat saya.” Dan seandainya saudara-saudara belum melakukannya bertahun-tahun yang lalu, maukah saudara-saudara melakukannya sekarang juga? “Saya telah menetapkannya. Yang terbaik yang dapat saya lakukan. Yang terbaik yang saya dapat ketahui, saya menerima Yesus sebagai Juru Selamat saya: “harapanku didirikan tak kurang daripada darah dan kebaikan Yesus. Tidak ada pengharapan yang lain. Saya sudah siap ketika waktu kematian saya sudah dekat. Saya sudah siap.”

  

Hal yang lain lagi. Sudahkah kita menyelesaikan pekerjaan kita? Sudahkah? “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” [2 Timotius 4:7]. Sudahkah kita menyelesaikan pekerjaan kita? Beberapa lagi dari antara bangsa kita adalah bangsa yang kejam. Jangan datang ke ujung jalan dan meninggalkannya kepada yang satu ini atau yang satu sana. Jangan. Jadilah pelaksanamu. Lakukanlah sekarang. Lakukanlah sekarang juga. Inilah yang telah dikaruniakan Tuhan kepada saya. “Pakailah ini sampai aku datang kembali.” [Lukas 19:13]. Buatlah setiap ketetapan sembari saudara-saudara telah berada di sini. Dan seandainya saudara-saudara dapat melakukannya, nikmatilah buah perbuatanmu serta kemurahan dan hadiah dari jiwamu. Oh, jangan tinggalkan hal itu untuk yang lainnya yang dapat terperosok kepada segala hal yang menyedihkan dan tidak menggembirakan dan hal itu akan disia-siakan serta dibuang. Selagi saudara-saudara dapat melihat pada hal-hal yang baik yang dapat saudara-saudara perbuat, lakukanlah sekarang juga. Dan kemudian, apa yang tersisa, buatlah itu menjadi korban dan persembahan kepada Tuhan Allah. Jadilah sebagai seorang algojomu untuk dirimu sendiri; engkau, orang yang telah diberkatio oleh Tuhan Allah. “Saya sudah siap. Waktu kematian saya sudah dekat. Saya sudah menjadi benar kepada kepercayaan.” Dan saudara-saudara sekalian yang telah menerima talenta, apapun talenta itu, pakailah talenta itu untuk Yesus sekarang juga. Apakah saudara-saudara dapat bernyanyi? Menyanyilah untuk Dia. Apakah saudara-saudara dapat mengajar? Mengajarlah untuk Dia. A[pakah saudara-saudara dapat bertamu? Bertamulah untuk Dia sekarang juga. Apakah saudara-saudara memiliki sebuah mobil? Pakailah mobil itu untuk Yesus sekarang juga. Apapun yang telah dimampukan Tuhan Allah kepada kita, kecil atau besar, marilah kita melakukannya untuk Dia sekarang juga – menjadi benar terhadap iman kepercayaan.

 

Dan, oh, bahwa kita memiliki waktu selama satu jam untuk berbicara tentang tugas ini, tentang beban ini, tentang tanggung jawab ini. Saya tidak suka memakai kata-kata itu untuknya – untuk suka cita ini, untuk kegembiraan tentang kesaksian kita untuk Tuhan; memenangkan jiwa bagi Tuhan Yesus, menunjukkan kayu salib itu kepada mereka. Selagi kita mendapatkan kesempatan untuk melakukannya sekarang juga, lakukanlah sekarang juga. Pemberita yang tiada taranya itu, yang tidak ada bandingannya itu, yang memberitakan dengan hati dan semangat serta jiwa yang luar biasa itu, George Whitfield; berkali-kali di dalam pekerjaan serta tugas pelayanan dan khotbah hidupnya dia berkata, “Oh, ketika saya akan mati, ketika saya akan meninggal, saya berdoa supaya saya akan memikul sebuah kesaksian besar terhadap Tuhan kita.” Akan tetapi dia tidak melakukannya. Dia meninggal dengan tiba-tiba. Dia berlalu dengan cepat. Dan ketika saat-saat kritis itu datang, dia tidak memuat kesaksian apapun kepada Tuhannya. Tidak ada sama sekali. Akan tetapi hal itu tidak menjadi masalah. Karena George Whitfield berdiri di jalanan. Dia berdiri di atas kereta api. Dia berdiri saat musim dingin. Dia berdiri ketika musim panas. Dia berdiri di antara orang-orang miskin. Dia berdiri di dalam ruang pengadilan. Dia berdiri di Inggris. Dia berdiri di Amerika. Di waktu siang dan di waktu malam hamba Tuhan yang hebat itu mencurahkan hatinya kepada orang-orang yang tersesat; sehingga orang-orang akan berpaling kepada Kristus dan akan diselamatkan. Dan pada saat dia meninggal, dia berada di sebuah desa yang kecil di daerah New England. He sudah naik ke atas tempat tidurnya di malam hari itu, dan selagi dia berbaring di sana untuk beristirahat malam hari itu, penduduk desa itu mendatangi rumah tersebut dan mengetuk pintunya. Dan mereka berkata, “Maukah George Whitfield berkhotbah kepada kami lagi?” Tamu-tamunya itu menaiki tangga dan mengutarakan permintaan tersebut kepada gembala yang hebat itu. Dan dia mengenakan pakaiannya dan menuruni anak-anak tangga itu dengan lilin yang dipegangnya menerangi jalannya, berdiri di sana, dia berkhotbah kepada orang banyak tersebut sampai lilin itu habis dan dia kembali ke tempat tidurnya, berbaring – dan seperti yang telah saudara-saudara ketahui, dia menderita penyakit asma – dan dengan tiba-tiba dia meninggal dunia. Hal itu tidak menjadi soal. Dia telah menanggung kesaksian untuk Tuhan kita di sepanjang hidupnya. Dia telah memelihara iman kepercayaannya sampai pada saat khotbah terakhir yang diberitakannya. Dan ketika dia begitu tiba-tiba terserang penyakit dan meninggal dunia, sehingga dia tidak mendapatkan kesempatan untuk menanggung kesaksian terhadap Kristus di saat-saat kematiannya yang luar biasa, hal itu tidak menjadi soal. Dia sudah sedemikian setianya di sepanjang kehidupannya. Semoga demikian juga dengan kita semua. Mungkin kita berada dalam keadaan koma, kita tidak mampu berbicara. Mungkin kita akan binasa dalam sebuah kecelakaan, dan tidak ada kesempatan untuk mengatakan sepatah katapun. Hal itu tidak menjadi soal.

 

Izinkanlah saya menagatakannya pagi hari ini. Izinkanlah saya berbicara tentang hal itu sekarang juga. Izinkanlah saya mengemukakan kesaksian kepada Tuhan saat ini juga. Dia telah menyelamatkan saya ketika saya masih kecil, ketika saya masih seorang anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun. Selama bertahun-tahun yang telah saya lalui ini, iman kepercayaan itu telah bertumbuh lebih terhormat dan lebih berharga. Dan bagaimanapun hal itu akan berada di dalam pemandangan yang terbuka, saya akan melihat kepada-Nya dan percaya di dalam Dia. “Dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan” – sampai pada saat itu [2 Timotius 1:12]. Saya tidak tahu, akan tetapi sudah cukup bahwa Dia mengetahuinya. Dan Dia perduli.

 

Maukah anda? Seseorang dari antara saudara-saudara, pada hari ini, saya akan menyerahkan hidup saya di dalam iman dan di dalam kepercayaan kepada Yesus; maukah saudara-saudara melakukannya? Pada hari ini aku akan memberikan keabadian jiwaku kepada-Nya. Sekarang aku akan mempercayai Dia. Aku akan mempercayai-Nya ketika saatnya tiba. Aku akan mempercayai-Nya untuk keabadian yang harus diikuti. Aku juga, akan melihat kepada Yesus, maukah saudara-saudara ikut? Bagaimana Tuhan Allah akan meminta saudara-saudara untuk menanggapinya pada hari ini, di dalam balkon ini dan di sekitarnya; di lantai yang lebih rendah ini, masuk kedalam lorong itu dan dari sini sampai ke depan, maukah saudara-saudara datang? Aku, pada hari ini menerima Yesus sebagai Juru Selamatku, atau, pada hari ini, kami menyerahkan hidup kami dengan kummpulan jemaat yang diberkati ini. Engkau dan keluargamu, seseorang dari antara saudara-saudara, bagaimanapun juga Tuhan Allah akan berfirman dan memimpin, sembari kita menunggu dengan berdoa, maukah saudara-saudara datang? Sementara kita menyanyikan sebuah seruan untuk saudara-saudara, maukah saudara-saudara datang? Maukah saudara-saudara melakukannya sekarang juga?