YESUS TUHAN KITA-AIR MATANYA
(JESUS OUR LORD- HIS TEARS)
Dr. W. A. Criswell
04-16-81
Yohanes 11:35
Tema kita sekitar minggu ini adalah berhubungan dengan Yesus Tuhan kita. Pada hari Selasa, judul khotbah kita adalah “BahuNya”; kemarin, “TanganNya” besok, “Lukanya, darahNya”; dan hari ini, “Air MataNya.”
Suatu ketika, Yesus bertanya kepada rasul-rasulNya, “Kata orang, siapakah Aku?” Seperti siapakah Aku menurut kamu?
Dan mereka menjawab, “Ada yang mengatakan Yohanes Pembaptis yang telah dibangkitkan dari kematian. Ada pula yang mengatakan Elia, nabi yang dijanjikan akan datang. Beberapa orang mengatakan bahwa Engkau seorang dari nabi-nabi dahulu yang telah bangkit. Tetapi banyak dari mereka yang mengatakan bahwa Engkau adalah Yeremia, nabi yang penuh ratapan.”
Betapa merupakan sebuah kesan yang berbeda yang dibuat oleh Yesus terhadap orang-orang. Anda mengingat Yeremia—bagaimana dia memulai pasalnya yang pertama dari Ratapannya?
Acuh tak acuhkah kamu sekalian yang berlalu? Apakah ada kesedihan seperti kesedihan yang ditimpakan Tuhan kepadaku….
Apakah anda mengingat di dalam ratapannya atas Yehuda?
Sekiranya kepalaku penuh air, dan mataku jadi pancuran air mata, maka siang malam aku akan menangisi orang-orang putri bangsaku yang terbunuh!
Mereka berkata: “Engkau adalah Yeremia, nabi yang penuh ratapan.”
Ketika anda membaca Alkitab, maka tidak pernah dicatat bahwa Tuhan pernah tersenyum atau Dia pernah tertawa—sekalipun jika anda membaca Alkitab di sana ada humor yang halus dalam konfrontasiNya dengan para pemimpin di saat Dia hidup di dunia. Tetapi tiga kali Alkitab kita diberitahukan bahwa Yesus menangis, bahwa Dia meratap.
Di dalam gereja saya, yang berada di daerah pedesaan, kepala sekolah dari sekolah menengah umum wilayah itu, adalah seorang pria yang sangat besar. Dia merupakan pemain utama dari tim football di universitasnya.
Dan saya memintanya untuk memberikan kesaksian kekristenannya. Dan ketika dia melakukannya, dia menangis dan minta maaf atas air matanya.
Apakah tangisan merupakan tanda dari kelemahan? Siapa yang menangis? Siapa yang meratap? Seorang Simon Petrus telah menyangkal Tuhan. Tuhan berpaling dan memandang dia ketika dia mengutuk dan menyangkal Tuhan kepada seorang hamba perempuan yang mengenalinya. Dan ketika Tuhan berpaling dan memandang Petrus, dia pergi keluar dan menangis dengan sedihnya.
Siapa yang menangis? Di bagian penutup dari Kisah Rasul pasal pasal dua puluh, penatua Efesus diberitahukan bahwa mereka tidak akan lagi melihat muka Paulus. Dan Paulus berlutut serta berdoa dengan mereka semua. Dan mereka semua menangis dengan tersedu-sedu. Dan mereka sangat berdukacita karena mereka tidak akan lagi melihat muka Paulus.
Siapa yang menangis? Ibu saya menangis. Mulialah hatinya, ketika saya bertobat, dia menangis.
Ayah saya menangis. Dia berkata, “Nak, Aku merasa bahwa aku tidak akan pernah melihatmu lagi.” Dan dia memang tidak melihat saya lagi. Ayah saya menangis.
Siapa yang menangis? Hati seorang ibu. Hati seorang ayah. Hati seorang gembala. Hati seorang yang berduka. Hati yang patah. Sebuah hati yang menyesal. Sebuah hati yang mengasihi. Sebuah hati yang peduli.
Siapa yang menangis? Yesus menangis? Tiga kali di dalam Kitab Suci dijelaskan bahwa Yesus menangis. Yang pertama di dalam Yohanes pasal 11 ayat 35. Dan bukankah hal itu sangat aneh bahwa penerjemah telah menempatkan ayat itu terpisah sendiri?
“Maka menangislah Yesus.”
Yohanes 11:35—Ayat yang terpendek dalam Alkitab: “Maka menangislah Yesus.” Hal itu terjadi ketika Dia melihat Maria dan Marta, yang sangat berduka atas kematian saudara mereka Lazarus, Yesus mencucurkan air mata, air mata simpati dan belas kasihan.
Ayat kecil itu berbicara lebih banyak tentang Tuhan kita dari pada penjelasan sebuah perpustakaan. Anda sukar untuk menjelaskankannya. Ayat itu sendiri berbicara tentang keindahannya, kemuliaannya dan kefasihannya: “Yesus mencucurkan air mata simpati dan belas kasihan.” Itu adalah sebuah hal yang indah di dalam setiap hati dan di dalam setiap hidup.
Seorang gadis kecil telah pulang dari sekolah dan berkata kepada ibunya, “Teman sebangkuku sangat sedih. Ibunya meninggal dunia.”
Dan ibu dari gadis kecil itu berkata kepada anaknya itu, “Dan sayangku, apa yang telah engkau katakan kepada sobat kecilmu itu?”
Dan gadis kecil itu menjawab, “Ibu, aku tidak mengatakan apapun. Aku hanya meletakkan tanganku dipundaknya dan ikut menangis”—dan hal itu jauh lebih bermakna dari kata-kata yang dapat disampaikan.
Saya sangat mengingat ketika saya memimpin sebuah ibadah pemakaman untuk seorang gadis kecil. Dan ibunya, seorang ibu yang masih muda, menangis dengan pedih, dengan meratap. Hati saya sangat pedih ketika mendengarkan kata-katanya dan saat melihatnya.
Di bagian depan suaminya berdiri dengan tangan yang terlipat kaku, dengan tak bergeming. Saya berdiri di sana, disampingnya. Saya ingin berkata, “Saudara, tidakkah anda bisa setidaknya meletakkan tangan anda atas istri anda atau mengucapkan sesuatu yang menghiburnya, dari pada berdiri di sana, dengan tidak bergeming. Bagi saya, itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dimaafkan dan tidak dapat dipahami.”
Air mata simpati dan pengertian—Kita sering berpikir bahwa Tuhan kita pada saat Dia hidup di dunia ini, selalu tergerak oleh belas kasihan kepada manusia. Tetapi, sekarang Dia telah naik ke sorga dan di dalam keabadian, bahwa Dia tidak lagi tersentuh dan Dia tidak lagi tergerak oleh perasaan terhadap segala kelemahan kita.
Akan tetapi saya katakana bahwa tidak ada sesuatu yang dapat bergerak lebih luas dari kebenaran. Kitab Suci menjelaskan kepada kita bahwa Tuhan masih dikenali dari kemanusiaanNya, Dia tetap sama seperti saat Dia tinggal di antara manusia. Dia tidak berbeda. Dia memiliki tubuh daging manusia dan tulang-tulang, sekalipun itu tubuh kebangkitan yang mulia. Dia tetap memiliki bekas luka di dalam tanganNya, di dalam kakiNya dan di lambungNya.
Tuhan Yesus yang sama, ketika Dia menampakkan diri kepada Saulus dari Tarsus, yang sedang menuju Damsyik, untuk menangkap dan memenjarakan dan membunuh orang-orang yang berseru kepada namaNya, Tuhan menghentikan dia dan berkata: “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?” Dia tidak berkata, mengapa engkau menganiaya umatKu atau mengapa engkau menganiaya jemaatKu? Tetapi Dia berkata, “Mengapa engkau menganiaya Aku?”
Dia mengidentifikasikan diriNya dengan kita. Kedukaan kita adalah kedukaanNya. Air mata kita adalah air mataNya. Kegalauan kita dan frustasi kita menjadi milikNya.
Dan seluruh Kitab Ibrani menjelaskan kepada kita bahwa Imam Besar kita, adalah Imam Besar yang turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, yang sama dengan kita, Ia telah telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. Dan di atas dasar kemanusiaan dan simpati serta belas kasihan dan pengertian Tuhan kita, kita diundang untuk menghampiri takhta anugerah dengan penuh keberanian. Anda sedang berbicara dengan seseorang yang memiliki simpati dan seseorang yang dapat memahami anda. Air mata simpati dan belas kasihan: “Maka menangislah Yesus.”
Kali yang kedua di dalam Alkitab, Tuhan kita digambarkan sedang menangis terdapat di dalam Injil Lukas pasal empat puluh satu ayat sebelas. Ketika Yesus berada di puncak Zaitun dan memandang atas kota Yerusalem yang terbentang di hadapanNya, Dia menangis. Dia mencucurkan air mata dan meratapi orang-orang yang terhilang.
Ketika saya membacanya, itu merupakan sebuah peringatan bagi saya, dan bagi jemaat. Kapankan itu terjadi, dimana anda melihat sebuah jemaat berlutut dan mencucurkan air mata karena terbeban bagi orang yang terhilang? Kapankah terakhir kalinya anda berlutut di hadapan Allah dan memohon dengan mencucurkan air mata bagi seseorang yang terhilang? Dunia menebalkan hati kita. Dunia mengeraskan roh kita dan kita menjadi semakin tidak sama dengan Tuhan kita, yang menangis bagi orang-orang yang terhilang.
Saya membaca tentang seorang pendeta muda yang datang ke sebuah kota, untuk menjadi seorang gembala. Seorang rekan datang ke ruang belajar tempat dimana pendeta muda itu ada, dan menemukan bahwa pendeta muda itu sedang memandang ke luar jendela, ke atas kota yang terbentang di hadapannya. Dan pendeta muda itu sedang menangis. Dan rekan seprofesi itu bertanya kepadanya, “Mengapa anda menangis?”
Dan pendeta muda itu menjawab, “Orang-orang ini—saya memandang mereka dalam penderitaan dan keterhilangan mereka.”
Dan rekan seprofesi itu menjawab, “Anda akan jarang melakukan hal itu. Dan anda akan mengabaikan hal itu.”
Betapa merupakan sebuah penilaian yang sangat keras. Tetapi betapa tragisnya karena kebenaran dari hal itu. Jangan khawatir. Anda akan mengabaikannya. Anda akan melalukan hal itu. Anda akan sanggup memandang orang-orang yang terhilang di seluruh kota dan tidak merasakan apapun. Anda akan mampu berjalan di jalan mereka, berkendaraan di jalan mereka, dan melihat ribuan orang yang mengenal Allah dan tidak tergerak. Jangan khawatir. Anda akan terbiasa dengan hal itu.
Dan kita juga. Dalam tahun-tahun yang lampau, ketika saya telah menjadi seorang pendeta, suatu ketika saya akan melihat seseorang yang dimenangkan untuk beriman kepada Tuhan oleh sebuah penjabaran intelektual tentang nilai dan kebenaran Tuhan Yesus. Sesekali seseorang bertobat karena intelektualitas. Dan dia menjadi seorang Kristen.
Tetapi sepanjang tahun-tahun pelayanan saya, seseorang yang diselamatkan karena sebuah argumen intelektual merupakan sebuah pengecualian. Kebanyakan dari kita diselamatkan melalui kasih dan doa serta perhatian yang lembut, atau perhatian dan permohonan dari seseorang yang mengasihi kita. Kebanyakan dari kita diselamatkan dengan cara itu.
Saya sangat mengingat ketika saya pergi ke sebuah rumah dan berusaha untuk memenangkan seorang bocah yang berusia sekitar 13 atau 14 tahun—seorang remaja laki-laki—kepada Tuhan. Saudari perempuannya yang lebih tua dari dia, sangat mendesak saya untuk memenangkan saudaranya. Jadi saya pergi ke rumah itu dan duduk di ruang tamu, di samping bocah itu. Dan kemudian duduklah saudara perempuannya yang telah meminta saya untuk datang.
Saya mengambil Alkitab saya dan menjelaskan jalan keselamatan kepada bocah itu. Dan saya berusaha dengan seluruh kemampuan saya sehingga dia dapat menerima Tuhan sebagai Juruselamatnya. Saya telah berusaha untuk membuat permohonan kepada remaja laki-laki itu. Dan dia secara jelas memperlihatkan ketidaktertarikannya.
Dan saya hampir putus asa dalam kegagalan saya dan bersiap-siap untuk pergi. Dan setelah saya sampai kepada akhir dari seruan dan permohonan yang terbaik yang dapat saya lakukan terhadap bocah itu, dia meresponnya dengan berbeda dan yang saya harapkan dan bersikeras untuk tetap berada di dalam pendiriannya, kemudian saudari perempuannya, di sisi yang lain, menutupi wajahnya dengan tangannya dan mulai menangis dan menangis dengan sedalam-dalamnya.
Bocah itu berpaling dan melihat ke arah saudari perempuannya. Dan anda dapat melihat air mata berjatuhan melalui sela-sela jarinya saat dia menangis. Bocah itu melihat gadis itu dan kembali melihat ke arah saya. Dan tidak lama sesudah itu, hatinya terbuka dan dia mulai menangis. Dan dalam beberapa kalimat permohonan, saya mendapatkan bocah itu masuk ke dalam kerajaan Allah.
Kebanyakan dari kita telah dimenangkan kepada Kristus, bukan oleh sebuah argumen intelektual yang luar biasa, atau oleh alasan-alasan teologi tentang Yesus. Kebanyakan dari kita telah dimenangkan oleh sebuah kasih, kepedulian dan hati yang penuh belas kasihan.
Air mata Yesus: contoh ketika dari doa dan ratapan Tuhan kita terdapat dalam Kitab Ibrani pasal 5 ayat 7 dan 8. Di sana Tuhan kita digambarkan seperti ini:
Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan.
Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya.
Saya tidak tahu di bagian manakah ayat ini merujuk kepada penderitaan Yesus yang membuat Dia menagis dan meratap. Sangat mungkin itu terjadi di Getsemani. Mungkin saja itu terjadi saat murid-muridNya meninggalkan Dia dan melarikan diri. Itu mungkin terjadi saat dia memandang ibuNya yang berduka. Mungkin terjadi saat mereka memakukanNya di atas kayu salib. Mungkin terjadi saat mereka mengejek Dia.
Tangisan yang kuat dan air mata. Penulis menjelaskan Tuhan kita saat masa-masa penderitaanNya, Dia mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Allah. Saya merasa bahwa saya sekarang dilayakkan di mana saya seharusnya sangat tidak layak. Saya memasuki tempat yang paling kudus yang seharusnya tidak saya miliki.
Penderitaan Tuhan kita sehingga Dia dapat diangkat dari jiwaNya, Dia menangis dengan permohonan dan ratap tangis—Di dalam Yesaya pasal lima puluh tiga ayat 10 dan 11 di disitu disebutkan:
Tetapi TUHAN berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan. Apabila ia menyerahkan dirinya sebagai korban penebus salah….
Sesudah kesusahan jiwanya ia akan melihat terang dan menjadi puas; dan hamba-Ku itu, sebagai orang yang benar, akan membenarkan banyak orang oleh hikmatnya, dan kejahatan mereka dia pikul.
Apa maksud dari hal itu? Saya tidak tahu. Allah telah membuat jiwaNya sebagai sebuah korban penebus bagi dosa-dosa kita. Saya tidak tahu. Saya tidak dapat masuk ke dalamnya. Hanya saja Kitab Suci menyebutkan bahwa, ketika Dia menjadikan diriNya sendiri dan memberikan diriNya sebagai sebuah korban bagi kita, bahwa Dia melakukannya dengan ratap tangis dan keluhan.
Saya berharap itu merupakan inspirasi bagi kerohanian orang Negro itu:
Apakah engkau di sana,
Ketika mereka menyalibkan Tuhanku?
Apakah engkau di sana?
Oh, kadang-kadang hal itu membuatku
Gemetar, gemetar, gemetar.
Apakah engkau di sana
Ketika mereka menyalibkan Tuhanku?
Apakah engkau di sana,
Ketika mereka memaku Dia Ke atas kayu salib?
Apakah engkau di sana?
Apakah engkau di sana
Ketika Dia menundukkan kepalaNya dan mati?
Apakah engkau di sana?
Oh, kadang-kadang hal itu membuatku
Gemetar, gemetar, gemetar.
Apakah engkau di sana
Ketika Dia menundukkan kepalaNya dan mati?
Air mata Tuhan kita bagi kita sehingga kita dapat diselamatkan. Saya pikir jika setiap orang dapat melihat dengan jujur ke dalam pengorbanan Tuhan kita, maka dia pasti akan tergerak. Saya berpikir bahwa jika setiap orang yang sungguh-sungguh melihat kepada Tuhan, di dalam semua kasihNya yang penuh belas kasihan, dia tidak akan tetap menjadi manusia yang sama. Hal itu mengubah kita. Hal itu menggerakkan kita, untuk bertobat dan tertunduk di hadapanNya.
Tuhan, Tuhan, itu merupakan hal yang terindah dari Allah bahwa Dia telah mati bagiku, mencariku, memanggil namaku, memberkati jiwaku dan hidupku dan mengampuni serta menyelamatkanku. Tuhan, Tuhan, itu membuat kami memuji Engkau, mengasihi Engkau sampai selama-lamanya.
Alih bahasa: Wisma Pandia, Th.M.