KRISTUS ADALAH PASKAH KITA
(CHRIST OUR PASSOVER)
Oleh Dr. W. A. Criswell
Diterjemahkan Dr. Eddy Peter Purwanto
1 Korintus 5:7
5 Juni 1955
Anda sedang mendengarkan pelayanan dari First Baptist Church di kota Dallas. Dan ini adalah gembala kami yang membawakan Firman Tuhan pada pagi ini.
Pada waktu yang lalu, kita menutup khotbah kita kitab per kitab sampai 1 Korintus pasal tiga ayat yang terakhir.
Sekarang, hari ini, dari pada melanjutkan ke ayat pertama dari pasal empat, saya akan langsung ke pasal lima dan berbicara dari teks ini.
Dalam 1 Korintus pasal lima dan ayat tujuh, nanti malam, pukul 7:30 tepat, kami akan kembali mulai pasal empat, dan khotbah nanti malam akan di dasarkan pada dua ayat pertama dari 1 Korintus pasal empat.
Namun pagi ini, kita akan lompat ke pasal lima ayat tujuh. Dan alasannya jelas. Kita semua yang ada di rumah Tuhan pagi ini dapat melihat persiapan, dan peralatan-peralatan meja perjamuan di mana kita akan mengingat kembali pengorbanan Kristus di kayu salib.
Dan karena perayaan ini, saya berkhotbah dari 1 Korintus pasal kelima ayat tujuh. Dan teks ini berbunyi, “Sebab anak domba Paskah kita juga telah disembelih, yaitu Kristus.”
Ingat kembali ke kisah malam Paskah yang agung, kembali ke masa lalu, ketika umat Tuhan di bawah perbudakan di Mesir.
Di tanah Mesir Tuhan mengirim 10 tulah yang sangat mengerikan. Sembilan dari tulah-tulah mengerikan itu hanya menyerang orang-orang Mesir – sementara orang-orang Israel luput.
Sebagi contoh, penyakit sampar tidak menyerang lembu mereka. Wabah belalang tidak menyerang tanah mereka. Kegelapan tidak menggelapkan perkampungan mereka.
Namun tulah yang terakhir, yaitu yang kesepuluh adalah penghukuman Tuhan atas semua orang, baik itu bagi orang-orang Mesir, orang-orang Ibrani, besar ataupun kecil, tua atau muda. Tulah terakhir yaitu yang kesepuluh yang mengerikan itu adalah penghukuman Tuhan atas semua daerah.
Karena pada malam itu, Tuhan berkata kepada malaikat kematian-Nya yang akan lewat. Dan siapapun juga, tidak peduli di mana, tidak peduli apa itu, tidak peduli bagaimana, setiap yang hidup, setiap yang bernafas, adalah sasaran dari tatapan mata malaikat kematian yang mengerikan itu.
Ah, dalam pikiran hati saya, saya dapat melihat orang-orang yang ada di sini sekarang seperti mereka yang pada malam itu menghadapi penghukuman yang sangat mengerikan. Mereka dapat mendengar desir kegelapan itu. Mereka menggigil di bawah tatapan mata yang mengerikan ketika malaikat kematian lewat di atas tanah pada malam yang kejam dan mengerikan itu.
Namun Tuhan Allah, dalam kebaikan yang tiada batas-Nya dan dalam anugerah suci-Nya, Tuhan Allah telah membuat jalan untuk lepas dari bahaya itu. Ia telah membuat suatu ketetapan untuk keselamatan.
Tuhan Allah berfirman, setiap keluarga, perhatikan setiap keluarga, keluarga orang Mesir, keluarga orang Israel, setiap keluarga yang mau mengambil domba dan mengikatnya di dalam rumah. Domba yang tanpa cacat dan cela, dan itu harus diikat di tengah keluarganya selama empat hari.
Dengan demikian, domba itu diidentikan dengan keluarga itu. Domba itu menjadi anggota baru dari keluarga yang tinggal di rumah itu.
Dan pada hari keempat, kepala keluarga, mewakili anggota keluarga, dengan khidmat menyembelih domba itu. Dan kemudian, menadahi darah itu dalam sebuah bak, darah itu dipercikkan ke ambang pintu membentuk salin di depan rumah itu.
Itu adalah pengakuan iman secara terbuka. Keluarga itu akan diluputkan dari penghukuman dan murka Allah yang Mahakuasa. Ini adalah pengakuan iman terbuka atas dosa kita, percikan darah di ambang pintu.
Dan itu adalah pengakuan terbuka di hadapan dunia bahwa keluarga ini melakukan yang menjadi kehendak dan rencana Tuhan; bahwa di dalam darah itu, kita memiliki pengharapan dan keselamatan kita; dan dalam domba kita yang disembelih, ada penebusan yang dibuat bagi dosa.
Telah ada kematian di sana di dalam rumah itu dan di dalam keluarga itu. Ada substitusi untuk kematian yang berada di bawah murka Allah, penghukuman atas semua anggota keluarga di rumah itu.
Dan darah itu, pertunjukkan secara terbuka, darah yang dipercikkan di ambang pintu depan rumah itu dapat dilihat oleh semua orang yang lewat, ini adalah keluarg yang berada di bawah penghukuman Tuhan. Ini adalah rumah yang berada di bawah darah. Ini adalah pengakuan keluarga itu di depan publik dan secara terbuka untuk mengikuti kehendak Tuhan.
Dan itu adalah cara Tuhan di malam penghukuman kematian yang dahsyat di tanah Mesir itu. Itu adalah cara Tuhan menyelamatkan orang-orang yang mau percaya kepada Dia. Ini selalu diingat oleh semua generasi berikutnya dari anak-anak Ibrani dengan mengadakan upacara Paskah.
Upacara ini mengajar orang Ibrani bahwa mereka adalah keluarga yang telah ditebus. Mereka adalah orang-orang yang telah dibeli dengan darah. Hidup mereka adalah karena pengorbanan. Darah yang kudus telah ditumpahkan dan dicurahkan, dan mereka telah diselamatkan oleh pengorbanan orang lain. Mereka telahdibeli dengan darah dan menjadi umat tebusan.
Sekarang, itulah yang menjadi latar belakangnya ketika Paulus berbicara dalam 1Korintus pasal lima bahwa Kritus adalah Paskah kita telah dikorbankan bagi kita. Paskah adalah protevangelium. Ini adalah Injil sebelum Injil. Ini adalah kebenaran yang harus ada di masa yang dinyatakan di dalam Yesus Kristus, Anak Allah.
Ada banyak sekali teks yang didengungkan di sepanjang Perjanjian Lama. Anda dapat melihatnya di dalam wahyu-wahyu Allah ini. Anda dapat melihat ini dalam upacara-upacara ketika mereka menyembah Yehova di Kemah Suci maupun Bait Suci.
Dan bahwa teks yang bergema di sepanjang Perjanjian Lama itu adalah, “Karena darah mengadakan pendamaian untuk jiwa. Hidup adalah di dalam darah, dan Aku telah memberikannya kepadamu di atas mezbah pendamaian dari jiwa.” Teks itu, saya mau katakan, terus bergema di seluruh Perjanjian Lama.
Di Taman Eden, untuk menutupi ketelanjangan manusia pertama, Tuhan Sendiri dengan tangan-Nya sendiri menyembelih binatang yang tidak berdosa, dan darahnya dicurahkan di atas tanah, “Karena darah itu membuat pendamaian bagi jiwa.”
Ketika Abraham diperintahkan Allah mempersembahkan anaknya sendiri di Gunung Moria, ketika ia mengangkat pisaunya untuk menusuk jantung anak itu, tiba-tiba terdengar suara menghentikan tangannya, dan ketika ia melihat sekeliling ia melihat domba yang tertambat di semak belukar.
Domba itu menggantikan tempat anaknya untuk disembelih, “Karena darah itu membuat pendamaian bagi jiwa.”
Malam Pasakah yang mengerikan, domba yang tanpa cacat cela, darahnya dipercikkan di pintu depan rumah itu, “Karena darah itu membuat pendamaian bagi jiwa.”
Tahun demi tahun, pada hari Raya Pendamaian seekor kambing dibawa ke hadapan imam besar. Imam menaruh tangannya di atas kepala binatang itu sambil mengakui semua dosa umatnya. Dan kemudian kambing itu dilepaskan ke padang gurun dan sementara yang lain disembelih, dan darahnya dipercikkan ke tabut perjanjian di depan kerub dalam ruang Mahakudus, “Karena darah itu membuat pendamaian bagi jiwa.”
Seluruh Perjanjian Lama, lagi dan lagi menyerukan teks kita ini, “Karena darah itu membuat pendamaian bagi jiwa.”
Dalam Perjanjian Baru, teks kita ini diubah sedikit, “Karena tanpa pencurahan darah, tidak akan ada penyucian dosa.”
Dan di seluruh kisah Perjanjian Baru, teks kita ini juga terus didengungkan dan dikumandangkan, “Karena tanpa pencurahan darah, tidak akan ada penyucian dosa.”
Di Getsemani, ketika Tuhan kita berdoa dan peluhnya menjadi seperti gumpalang darah yang jatuh ke tanah. “Karena tanpa pencurahan darah, tidak akan ada penyucian dosa.”
Dalam Via Dolorosa, darah terus mengalir dari wajah dan punggung sang Juruselamat yang telah dicambuk, “Karena tanpa pencurahan darah, tidak akan ada penyucian dosa.”
Dan di Golgota, di tempat ketinggian antara bumi dan langit, dengan paku besar yang menembus tangan dan kaki-Nya dan tusukan tombak tentara Roma di lambungnya dan darahnya tercurah ke tanah, “Karena tanpa pencurahan darah, tidak akan ada penyucian dosa.”
Dan dalam kisah Allah di sepanjang masa, akhirnya di sorga, sejumlah besar orang menyanyikan lagu Musa dan Anak Domba, “Ini adalah mereka yang jubahnya telah dicuci menjadi putih bersih oleh darah Anak Domba.” “Karena tanpa pencurahan darah, tidak akan ada penyucian dosa.”
“Sebab anak domba Paskah kita juga telah disembelih, yaitu Kristus.” Tanpa salib, tanpa pengorbanan, tidak ada injil. Tidak ada khotbah. Tidak ada pengampunan dosa. Tidak ada sorga bagi manusia, dan tidak ada janji untuk masa depan.
Kematian Kristus mengejutkan para murid, suatu shock tragis yang tak ada bandingnya bagi para murid yang menyaksikan Yesus sebagai yang harus datang ke dalam dunia, sebagai Mesias yang dijanjikan dalam seluruh Kitab Suci Perjanjian Lama.
Dan ketika mereka melihat Dia mati seperti sebagai kriminal, mati seperti sebagai penjahat, mati seperti sebagai pencuri, mati seperti sebagai pembunuh, ketika mereka melihat Dia disalibkan, timbul suatu misteri yang tak dapat dijelaskan dalam jiwa dan hidup mereka, masih seperti itulah sampai di zaman kita sekarang ini.
Namun ketika mereka merenungkan dan meneliti Kitab Suci, muncul sesuatu di dalam hati mereka, sama seperti yang muncul dalam hati kita, yaitu penyingkapan yang agung tentang tujuan dan rencana Allah; bahwa di dalam pertobatan, di dalam pendamaian, di dalam penebusan, di dalam penderitaan, di kayu salib, kita memperoleh pengampunan dosa dan diangkat menjadi anak dalam keluarga Allah.
Bukan dengan kehidupan yang manis dari sang Juruselamat kita disucikan dari dosa-dosa kita. Anak Domba yang tanpa noda dan cacat, murni, kudus, sepempurna, tanpa cela, terpisah dari orang-orang berdosa – yaitu Juruselamat kita, yang tak bernoda, kudus dan suci.
Namun jika hari ini Tuhan kita belum meninggalkan kota Israel, maka tirai Bait Suci masih utuh dan belum terbelah menjadi dua. Sehingga ini berarti masih ada penghalang akses penyembahan langsung kepada Allah.
Namun di dalam kematian Kristus, melalui tubuhnya, selubung itu terkoyak berkeping-keping, dan kita memiliki akses langsung ke dalam ruang Mahakudus oleh darah-Nya dan pengorbanan-Nya di dalam nama-Nya. Berdasarkan kebaikan-Nya ini, kita memiliki hak untuk datang dengan terus terang ke tahta Allah dan berbicara kepada Allah untuk diri kita sendiri.
Bukan oleh hidup-Nya yang manis, namun oleh bilur-bilurnya kita disembuhkan. Bukan oleh kesucian yang diam dalam jiwa dan hidup dari seorang nabi di Galelia dengan begitu indahnya dan penuh rahmat, namun oleh luka dan penderitaan-Nya kita diselamatkan.
Tidak ada hal yang lebih indah di dunia ini dari pada kisah dan fakta tentang inkarnasi Anak Allah: yaitu bahwa Allah harus menjadi manusia, bahwa yang Mahatinggi harus mengambil rupa bagi Diri-Nya sendiri dalam rupa manusia – namun tidak ada dosa dalam diri-Nya.
Karena sama seperti benih yang ditabur ke tanah, begitu juga Juruselamat kita dikuburkan, di dalam kematian Tuhan kita oleh anugerah Allah Ia mengalami kematian untuk setiap manusia.
Dan di kayu salib dan di kubur itu kita diperdamaikan kembali dengan Allah. Bukan oleh inkarnasi-Nya kita diselamatkan, namun oleh kematian-Nya di kayu salib dan oleh kebangkitan-Nya.
Bahkan kita juga tidak diselamatkan oleh kata-kata yang sangat indah dan ramah yang keluar dari bibir-Nya. Tidak pernah ada orang yang bias berkata-kata seperti orang ini. Kata-kata yang tidak pernah dipikirkan oleh para filsuf kata-kata yang tidak pernah dibayangkan oleh penyair dan orang bijaksana, kata-kata kehidupan yang jatuh seperti embun dari mulut sang Juruselamat.
Namun Ia tidak mempertahankan hidup-Nya dari kayu salib, But had there not been the unleashing of the power of His life from the cross, He would have been still there yet, just another philosopher, another great teacher, another Confucius, another Zoroaster, another Marcus Aurelius, another Mahavera, just another Buddha.
Namun di kayu salib, di sana kita melihat lengan dan wajah dan hati Anak Allah yang mulia yang menyatakan Bapa kita di dalam Yesus Kristus.
“Darah-Nya dikatakan sebagai sesuatu yang lebih baik dari pada yang dipersembahkan Habel.” Karena darah itu tidak hanya berbicara tentang kesucian dan berkat dan tanpa cacat cela, namun darah itu juga membawa berita pengampunan dan pembebasan dan kemerdekaan dan satu-satunya akses untuk orang yang akan datang kepada Allah Juruselamat kita.
Konsekwensnya, ketika Anda ketika Anda mengambik Kitab ini dan ketika Anda membaca kisah pelayanan Injil dari para rasul dan para penginjil serta para misionaris mula-mula, Anda akan menemukan bahwa mereka selalu kembali, menekankan berita salib ini.
Anda akan menemukan hati mereka yang berbalik pada saat hari kematian sang Juruselamat. Anda akan menemukan mereka mengkhotbahkan sekali lagi kisah tentang Dia yang mengasihi kita dan memberikan hidup-Nya Sendiri kepada kita.
Walaupun mereka juga berbicara tentang hal lain, walaupun berita tentang pembangunan jemaat bias dikategorikan sebagai hal lain, namun Anda akan menemukan para penginjil dan para rasul abad pertama ini selalu kembali kepada berita tentang Anak Allah yang disalibkan.
Simon Petrus berbicara tentang hal itu seperti yang terdapat dalam 1 Petrus 1:18-19, “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.” Kita dibeli dengan harga yang mahal, yaitu darah Anak Allah.
Rasul Paulus juga berkata seperti itu dalam Galatia 2:20, “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.”
Rasul Yohanes juga berkata seperti itu. 1 Yohanes 1:7, “Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa.”
Setiap khotbah yang mereka khotbahkan, setiap kalimat dari Alkitab yang mereka tinggalkan, diinspirasi oleh penderitaan Dia, ditulis dengan darah-Nya.
Kisa sendiri harus kembali kepada salib Anak Allah, berdiri di antara waktu dan kekalan, kematian Juruselamat kita adalah untuk kita; bahwa Kristus yang adalah Tuhan kita, Paskah kita, telah berkhorban bagi kita.
Suatu saat nanti kita akan berada di sorga. Tidak lama lagi perjalanan musyafir kita di muka bumi ini. Dan apakah yang akan kita katakan? Inilah lagu kita. Perhatikan ini. Dan mereka memuji Tuhan, “Bagi Dia yang telah mengasihi kita dan menyucikan kita dari dosa-dosa kita dalam darah-Nya sendiri, dan menjadikan kita raja dan imam-imam bagi Allah kita, bagi Dia kemuliaan dan hormat dan kuasa, untuk selama-lamanya. Amin.”
“Dan aku melihat Anak Domba yang telah disembelih itu duduk di tahta itu.” “Ia layak, karena Ia telah menebus kita untuk Allahdengan darah-Nya yang tercurah bagi semua bangsa dan keluarga dan suku dan semua manusia yang berada di bawah matahari, dan mereka yang menyembah Dia yang hidup untuk selama-lamanya,” ingat kembali akan salib itu.
Selanjutnya saya mau memberikan pendekatan ringkas. Beberapa hal yang Anda baca dalam sejarah iman Kristen hampi tidak dapat dipercaya, namun ini bukanlah fiksi. Ketika abad-abad kegelapan menyelimuti dunia ini. Bahasa Alkitab tidak bias dipahami oleh banyak orang. Injil tidak lagi diberitakan, dan kegelapan menyelimuti semua manusia di muka bumi ini.
Dan pada zaman itu, ada seorang muda, seorang bangsawan muda. Namannya adalah Zinzendorf. Setelah melihat-lihat balai kesenian di kota Jerman yang disebut Düsseldorf, dan di balai kesenian yang sangat terkenal itu, di sana ia tertarik dengan sebuah lukisan. Itu adalah lukisan Anak Allah, Kristus yang adalah domba Paskah kita, yang telah dikorbankan bagi kita.
Dan ia berdiri di sejauh tombak, memperhatikan gambar itu. Dan di bawah gambar itu tertulis suatu bait dalam bahasa Latin, yang bunyinya adalah: Ego faces pro te. Quid faces pro me?
Anda semua yang pernah belajar bahasa Latin di sekolah, tahu apa maksudnya ini: “Ini yang telah aku lakukan untuk kamu. Apa yang telah kamu lakukan untuk Aku?”
Dan anak bangsawan itu berdiri di sana, memandangi lukisan salib yang luar biasa itu, kemudian ia menyerahkan hidupnya, perusahaannya, jiwanya untuk melayani Tuhan kita yang terkasih yang telah disalibkan.
Dan itulah permulaan dari gerakan misionari yang agung. Itu adalah permulaan dari gerakan Injili yang agung. Itu adalah permulaan gerakan penginjilan ke seluruh dunia yang luar biasa.
Itu adalah permulaan dari segala sesuatu yang Anda lihat hari ini dalam pemberitaan Injil Anak Allah. Itu dimulai dengan menekankan kembali berita salib.
Dan itu adalah sumber dari semua pekerjaan dan pelayanan kita. Memandang kembali kepada salib, mengingat hari ketika Allah menghukum dosa manusia dan menimpakan itu di dalam darah Anak-Nya.
Itu adalah sumber kehidupan gereja ini. Itu adalah pengharapan jiwa kita. Itu adalah berita hati kita: Kristus domba Paskah kita telah dikorbankan bagi kita. Ego faces pro te. Quid faces pro me? Apa yang telah kita lakukan bagi Dia?
Saya ingin mengubah lagu kita pada pagi hari ini. Dan mari kita semua menyanyikan lagu ini, “There’s a Fountain Filled with Blood,” Nomer 48, dan sambil menyanyikan lagu ini, nomer 48, siapa saja yang mau memberikan hatinya untuk Tuhan, atau ingin menyerahkan hidup Anda untuk Kristus, atau memberikan hidup Anda untuk persekutuan gereja di tempat ini,
Ketika kita menyanyikan lagu ini, “There’s a Fountain Filled with Blood,” pada hari ini, maukah Anda maju ke depan? Maukah Anda maju ke depan?
“Katakan ini sini saya Pak Pendeta. Pada hari ini, saya mempercayai Tuhan sebagai Juruselamat saya.” Atau, “Hari ini, kami mau bergabung dalam persekutuan gereja ini, ‘ sambil menyanyikan lagu ini, “There’s a Fountain Filled with Blood.”
Itulah karya penebusan Juruselamat kita. Itulah salib. Ketika kita menyanyikan lagu ini, mari silahkan maju ke depan. Maukah Anda datang dan berdiri di sisi saya sambil jemaat semua berdiri dan menyanyikan lagu ini bersama-sama.